Jakarta – Presiden Joko Widodo (Jokowi) seharusnya tidak mengulang kesalahan yang sama dengan saat ia memilih calon Kapolri dalam penetapan calon Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Sejauh ini, nama kandidat Kepala BIN masih “disembunyikan” oleh pihak Istana.
Presiden sebaiknya memilih nama calon Kepala BIN yang benar-benar bersih, terutama tidak punya catatan kasus dugaan korupsi, dan dikenal baik oleh masyarakat sipil.
UU tentang Intelijen Negara mengatur, pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Wakil Kepala BIN ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Namun Kepala BIN diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat pertimbangan DPR RI. Karena itu sosok yang dapat diterima DPR pun harus dipikirkan baik oleh presiden.
Terkait rencana penetapan Kepala BIN yang baru itu, Ketua Umum Bina Bangun Bangsa, Nur Ridwan, menyarankan orang-orang di lingkungan presiden bisa memberikan masukan yang baik sesuai aspek tata pemerintahan baik dan tata kenegaraan sehingga bisa meminimalisir gesekan politik.
“Meski itu hak prerogatif presiden, orang-orang lingkungan Jokowi mesti berikan masukan positif supaya tidak blunder (kesalahan) seperti penetapan calon Kapolri,” tegas Nur Ridwan kepada Kantor Berita Politik RMOL, beberapa saat lalu.
Dia juga menyarankan nama calon Kepala BIN tidak dipengaruhi lagi oleh dikotomi sipil dan militer. Menurutnya, kemampuan teknis tak hanya dimiliki tokoh militer. Lebih penting baginya presiden memilih orang yang dipercaya dan mampu membuktikan kinerja yang baik.
“Jangan lupa sejarah, bahwa sebenarnya militer lahir dari rakyat. Tidak ada lagi dikotomi. Kalau ada orang sipil yang mampu bekerja, silakan saja pilih,” tegasnya.
Bursa pencalonan Kepala BIN ini juga sempat mendapat perhatian dari eksponen gerakan mahasiswa 98. Lembaga Lingkar 98 menyatakan, salah satu bidang pemerintahan yang krusial butuh perhatian sangat tinggi dari Jokowi salah satunya adalah bidang politik dan keamanan (polkam). Jabatan ini sangat strategis untuk menghadapi dan mengantisipasi gangguan terhadap agenda pemerintahan.
Dan sebagai pemimpin nasional dari sipil yang kedua di era reformasi setelah Gus Dur-Mega, Jokowi-JK harus mempertahankan spirit instansi sipil di bidang keamanan diisi oleh orang sipil yang kompeten. Bila Gus Dur-Mega merupakan presiden pertama yang membuka sejarah dengan menempatkan orang sipil pertama menjadi Menteri Pertahanan, maka spirit tersebut sebaiknya dipertahankan. Ditambah, menempatkan orang sipil pertama di era reformasi mengepalai Badan Intelijen Negara (BIN).
Terkait itu, sejauh ini ada beberapa nama yang diperbincangkan untuk mengisi jabatan Kepala BIN. Yang paling santer adalah Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As’ad Said Ali. Sesepuh NU ini sudah terlibat dalam kegiatan intelijen di luar negeri, terutama Timur Tengah, sejak periode 1980-an dan pernah menjabat Wakil Kepala BIN selama 9 tahun.
As’ad juga sudah dipanggil Presiden Jokowi ke Istana Merdeka saat seleksi menteri-menteri kabinet berlangsung pada Oktober silam. As’ad saat itu mengaku diajak Presiden berbincang mengenai keamanan dan ketertiban serta dunia intelijen negara. [ald]
Link terkait : keamanan.rmol.co – Ini Masukan Agar Pemilihan Kepala BIN Tidak Blunder.