Hal yang ditulis pada judul artikel ini merupakan tema yang cukup sering ditanyakan oleh para penulis pemula. Sebenarnya, tak ada kaitan di antara mereka. Tapi banyak orang yang sering menganggap itu semua satu paket. Karena itu, saya coba bahas semuanya di artikel ini. Semoga bermanfaat 🙂

I. Hak Cipta

Banyak penulis yang mengira bahwa jika menerbitkan buku, hak ciptanya juga harus diurus.

Sebenarnya, dalam proses penerbitan buku di manapun, tak ada yang namanya “pengurusan hak cipta”. Seorang sahabat saya – namanya Denny Baonk – yang lulusan fakultas hukum pernah berkata:

“Sebuah hasil karya intelektual akan OTOMATIS mendapat hak cipta begitu karya tersebut dipublikasikan.”

Jadi ketika sebuah buku terbit atas nama Bejo Suparjo misalnya, maka OTOMATIS si Bejo Suparjo sebagai pemilik hak cipta dari buku tersebut. Dan hak cipta ini berlaku seumur hidup. Bahkan setelah kita meninggal pun, hak cipta bisa diwariskan kepada ahli waris kita.

NB: Masih menurut teman saya, tidak ada definisi yang jelas mengenai “dipublikasikan” tersebut. Artinya, publikasi bisa di mana saja, termasuk di blog, milis, notes Facebook, dan sebagainya. Jadi tulisan yang sedang Anda baca ini pun, sudah memiliki hak cipta karena sudah dipublikasikan, walau hanya di blog pribadi. Padahal saya tak pernah mengurusnya 🙂

NB: Hak cipta biasanya hanya perlu diurus jika kita sebagai penulis hendak mempatenkan istilah, logo atau konten tertentu pada buku kita. Misalnya pada buku Quantum Ikhlas. Pak Erbe Sentanu sebagai penulisnya telah mendaftarkan hak merek Quantum Ikhlas sehingga tak bisa lagi dipakai oleh orang lain.

“O… jadi hak cipta itu bukan milik penerbit?” 

Bukan! Hak yang melekat pada penerbit adalah HAK PENERBITAN, atau hak untuk menerbitkan. Bukan hak cipta. Dan hak penerbitan ini pun tidak selamanya. Bisa dibatasi oleh waktu atau jumlah eksemplar.

Misalnya begini:

1. Si A menerbitkan buku di Penerbit Y, dengan kontrak selama 3 tahun. Artinya, Penerbit Y berhak menerbitkan buku si A selama 3 tahun. Setelah masa 3 tahun berakhir, maka kontrak pun berakhir dan si A bebas menerbitkan buku tersebut di tempat lain.

2. Si B menerbitkan buku di Penerbit Z dengan kontrak 5.000 eksemplar. Artinya, kontrak antara si B dan Penerbit Z berlaku hingga buku tersebut dicetak sebanyak 5.000 eksemplar. Jika kuota 5.000 eksemplar tersebut telah tercapai, maka perjanjian otomatis berakhir, dan si B bebas menerbitkan bukunya di tempat lain.

“Apakah penerbit bisa memiliki hak cipta atas buku yang kita tulis?”

Bisa, jika si penerbit TERLIBAT dalam proses penulisan buku tersebut. Contohnya adalah buku Trilogi Sepatu Dahlan karya Khrisna Pabichara. Penulisan buku ini berawal dari ide penerbitnya (NouraBooks). Semua konsep berasal dari mereka. Lalu mereka pun mencari penulis yang bersedia menuliskan buku sesuai permintaan penerbit.

Dalam kasus seperti ini, penerbit dan penulis memiliki hak cipta terhadap buku yang ditulis. Adapun jika semua ide dan proses penulisan berasal dari penulis, maka hak cipta seharusnya 100% milik penulis. Jangan sampai penulis (yang mungkin masih lugu) menyerahkan hak cipta bukunya kepada penerbit. Wow! Bahaya!

“Bagaimana dengan ISBN? Apakah adanya ISBN merupakan pertanda bahwa sebuah buku sudah memiliki hak cipta?”

TIDAK. ISBN (International Standard Book Number) berfungsi sebatas administratif saja. Dengan memiliki ISBN, sebuah buku tercatat di Arsip Nasional selama 50 tahun. Dengan ISBN, sebuah buku akan lebih mudah dikenali dan dicatat secara administratif. Itu saja fungsinya. ISBN tak ada kaitan dengan hak cipta atau perizinan.

“Perizinan? Hm… bagaimana cara mengurus perizinan penerbitan buku?”

II. Perizinan

Untuk menerbitkan buku di Indonesia, tak ada izin apapun yang harus diurus. Demi Tuhan. Tak ada izin apapun yang harus diurus! Sangat jelas, bukan?

Karena itu, tak perlu bertanya lagi. Tak ada gunanya pembahasan mengenai perizinan, sebab memang tak ada aturan yang mengatur hal itu di dunia penerbitan.

“Tapi bukankah untuk menerbitkan buku, hanya boleh dilakukan oleh perusahaan berbadan hukum?”

Siapa bilang? Perorangan pun bisa, kok!

“Lho… kok aneh? Setahu saya, untuk menerbitkan buku kan harus ada ISBN-nya. Dan untuk mengurus ISBN, katanya wajib melampirkan bukti legalitas penerbit, seperti akte notaris. Gimana, dong?”

Hehehe…. jangan bingung, teman. Begini, ya.

III. ISBN

Pertama: Tak ada aturan bahwa buku yang terbit harus punya ISBN. Anda bebas menerbitkan buku tanpa nomor ISBN. Jadi misalnya Anda menerbitkan buku atas nama perseorangan, tanpa pakai nomor ISBN, dan diterbitkan dengan nama penerbit buatan Anda sendiri  (nama yang dibuat secara asal-asalan saja, sesuka Anda, tanpa perlu mendaftarkan nama penerbit tersebut ke manapun), maka itu bisa Anda lakukan. Dan itu sama sekali tidak melanggar hukum.

Kedua: Tak ada aturan bahwa penerbitan buku hanya boleh dilakukan oleh perusahaan berbadan hukum. Bahkan perorangan pun bisa.

Ketiga: Anda bisa saja mendirikan perusahaan berbadan hukum, lalu penerbitan bukunya dilakukan di bawah naungan perusahaaan tersebut. Jika misalnya Anda mengurus perizinan, maka perizinan tersebut HANYA berkaitan dengan si perusahaannya saja. Tak lebih dan tak kurang. Artinya, perusahaan Anda butuh legalitas, karena itu Anda mengurus perizinannya. Adapun kegiatan menerbitkan buku yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, sama sekali tak ada izin yang harus diurus. Nah, sudah jelas kan, bedanya?

Keempat: Untuk mengurus ISBN bagi penerbit baru, DULU bisa dilakukan secara bebas, tanpa ada syarat khusus yang memberatkan.

Namun sejak awal tahun 2012, Perpustakaan Nasional sebagai lembaga resmi yang menerbitkan nomor ISBN di Indonesia, membuat aturan baru, bahwa bagi penerbit baru yang hendak mengurus ISBN, wajib melampirkan bukti legalitas penerbit (misalnya akte notaris). Namun bagi penerbit lama, syarat ini tidak diperlukan.

Jadi, HARAP DIBEDAKAN: Bukti legalitas tersebut konteksnya adalah untuk mengurus ISBN, bukan untuk mendirikan penerbitan. Keduanya berbeda, jangan dicampuradukkan, agar tidak bingung, hehehe… 😀

Jika Anda misalnya menerbitkan buku tanpa nomor ISBN, tentu saja Anda tak perlu punya bukti legalitas apapun, tak perlu berbadan hukum.

Nah, sudah jelas kan, sekarang?

IV. Perpajakan

“Oke, saya mulai paham sekarang. Namun bagaimana dengan perpajakan? Misalnya buku saya diterbitkan tanpa izin, lalu laris manis dan terjual sebanyak (misalnya) 1 juta eksemplar, apakah saya tidak akan dikejar-kejar oleh petugas pajak?”

Hehehe… begini teman:

Satu: Perpajakan dan perizinan itu tak ada kaitannya, tak ada hubungannya. Jadi tak perlu dihubung-hubungkan, ya. Kalau dihubung-hubungkan, cuma bikin bingung, hehehe… 😀

Perizinan itu urusan menteri atau departemen yang mengurus masalah-masalah hukum. Sedangkan perpajakan itu urusan menteri atau departemen yang mengurus masalah-masalah keuangan. Artinya, petugas pajak tak akan mengejar-ngejar Anda karena buku Anda terbit tanpa izin. Sebab itu bukan urusan mereka 🙂

Dua: Pajak itu tidak ada kaitannya dengan besar kecilnya nilai rupiah yang Anda dapatkan atau yang Anda keluarkan.

Saya beri contoh konkrit nih:
Para pedagang elektronik di Mangga Dua, penghasilan mereka bisa miliaran rupiah berbulan. Tapi mereka tak kena pajak. Sebaliknya, Anda beli permen di hypermarket, ternyata kena pajak. Padahal harganya cuma Rp 2.000.

Perpajakan tak ada kaitannya dengan jumlah rupiah. Sebuah transaksi bisa terkena pajak hanya jika terdapat unsur-unsur berikut:

1. Adanya transaksi yang membutuhkan bukti tertulis (misalnya kuitansi, nota pembelian, dan sebagainya)
2. Di dalam bukti tertulis tersebut terdapat konsekuensi pajak.

Kedua syarat di atas harus terpenuhi, tak bisa salah satunya saja.

Contoh konkrit:
Anda beli permen di warung pinggir jalan, tak kena pajak. Karena kedua syarat di atas tidak diperlukan. Sebaliknya, Anda beli permen di hypermarket, pasti kena pajak. Karena pada hypermarket, kedua syarat tersebut diperlukan.

Jadi, kembali ke pertanyaan semula:
Penjualan buku Anda akan dikenai pajak, hanya jika Anda menjualnya dengan cara yang mengharuskan adanya kedua syarat di atas. Misalnya jika buku Anda dijual di toko buku seperti Gramedia. Pasti kena pajak, walau yang laku cuma 5 eksemplar misalnya.

Sebaliknya kalau Anda jualan secara online misalnya, maka tak ada pajak yang harus Anda bayar, walau penghasilan dari kegiatan ini mencapai (misalnya) triliunan rupiah.

Mohon maaf, angka triliunan rupiah ini mungkin terlalu berlebihan. Namun saya sengaja “agak lebay” seperti itu, hanya bertujuan agar Anda bisa memahami konteks tema perpajakan ini dengan lebih mudah. Intinya (sekali lagi), pengenaan pajak tak ada kaitannya dengan jumlah rupiah yang diterima atau dikeluarkan.* * *

Nah, sudah jelas kan sekarang? Semoga bermanfaat. Terima kasih. Salam sukses selalu!

Jonru

Ada yg bisa kami bantu ?...