Oleh Muhammad Subarkah/Wartawan Republika

Taufik Abdullah lahir pada 3 Januari 1936, di Bukittinggi, Sumatra Barat, Hindia Belanda. Dia sejarawan terkemuka Indonesia saat ini dan pernah menjabat sebagai ketua LIPI periode 2000-2002 dan wakil presiden Asosiasi Sosiologi Internasional Dewan Riset Sosiologi Agama.

Taufik memperoleh gelar kesarjanaannya dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra & Kebudayaan UGM Yogyakarta (1961). Menyelesaikan pendidikan tingkat doktor di Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat (1970), dengan disertasi: Scholl and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra. Karya disertasinya ini kemudian diterbitkan oleh Universitas Cornell pada 1971.

Sebagai sejarawan, Taufik sangat aktif menulis di berbagai media masa. Atas ketekunan dan kualitas karyanya itu, pada 2009 Taufik memperoleh gelar doctor honoris causa dari Universitas Indonesia.

Mengenai penggantian slogan Bukittinggi dari kota pariwisata menjadi kota perjuangan, Taufik menyatakan mendukung sekali. Apalagi, selama ini posisi penting kota itu sebagai ibu kota negara Republik Indonesia (RI) semasa perang kemerdekaan memang sengaja dilupakan sebagai akibat sikap negara yang serakah.

“Posisi penting Bukittinggi itu tidak hilang hanya dilupakan. Semasa pemerintahan Presiden Sukarno dan Soeharto, negara ini memang tidak puas hanya sekadar melakukan penguasaan secara ekonomi dan politik, tapi juga ingin melakukan penguasaan ingatan kolektif atas sebuah kesadaran,” katanya.

Bagaimana posisi penting Bukittinggi bagi perjuangan bangsa Indonesia?
Begini, Sumatra Barat mempunyai peranan penting semenjak awal abad ke-20. Pada 1901 terbit sebuah majalah di Padang yang bernamaInsulinde. Majalah ini mempunyai ‘pembantu’ (koresponden—Red) di seluruh Sumatra dan Jawa. Majalah ini terbit selama empat tahun. Kebetulan dulu, saya temukan majalah itu ditumpukan arsip di Perpustakaan Leiden. Saya temukan majalah itu ketika belum diberi nomor untuk pengarsipan. Majalah itu langsung saya bawa ke luar untuk saya baca.

Bila saya lihat, pesan majalah itu hanya ada dua saja: bahwa kita harus masuk ke dalam dunia maju dan kita terlibat dalam proses kemajuan. Jadi, masalah kemajuan yang ditekankan. Nah, dalam sisi lain, harap diketahui saat itu Sumatra Barat adalah satu-satunya daerah di Hindia Belanda yang tidak diminta membayar pajak. Mengapa? Ini sebagai imbas dari Perang Padri yang mana saat itu Belanda mengatakan: Kedatangan kami (Belanda—Red) di Sumatra Barat tidak akan memerintah dan hanya untuk berdagang. Dan tak usah pula membayar pajak, tapi komoditas tanaman seperti kopi harus dijual kepada kami.

Namun, pada 1860-an, harga kopi merosot sehingga urang awak memilih tanaman komoditas yang lain. Maka, Belanda krisis di Sumatra Barat dan memutuskan menarik belasting (pajak). Nah, orang-orang berada di kampung-kampung, terutama kaum adat dan ninik mamak dan para ulama keberatan. Orang terpelajar di Padang kemudian memprotesnya dan mereka malah meminta agar Belanda membuat sekolah. Akibat protes anti-belasting itulah kemudian meletus berbagai Perang Kamang, Perang Magopoh, dan perang sejenis lainnya. Pada peristiwa itu banyak orang yang kemudian digantung dan ditembak. Ini terjadi pada 1908.

Setelah itu, orang Minang sadar bahwa untuk melawan Belanda tak bisa dilakukan dengan kekuatan otot atau senjata semata. Sejak itu orang Sumatra Barat terbanyak dalam bersekolah. Jadi pada 1912, Sumatra Barat adalah salah satu daerah tertinggi yang penduduknya bersekolah. Pesaingnya hanya Minahasa. Dari seribu orang di Sumatra Barat yang bersekolah 50 orang, tapi di daerah lain yang bersekolah hanya lima orang.

Lalu, apa yang kemudian timbul akibat warganya begitu terdidik?
Ya, di Padang kemudian muncul perdebatan antara kaum muda dan kaum tuo (tua—Red). Ini terjadi mulai tahun 1910-an itu. Jadi, perdebatan antara kelompok modernis dan tradisional, mereka berbagi hal, mulai dari soal agama hingga sosial. Dari mereka yang mendukung tradisi hingga yang berpikir pada kemajuan.

Nah, pada 1920, berdirilah Perguruan Thawalib di Padang Panjang. Maka sejak itu, Padang Panjang menjadi pusat kegiatan. Sebagian orang-orang Thawalib tergelincir pada paham komunis dengan mendirikan MajalahPemandangan Islam dan Djago-Djago. Akibatnya, setelah kemudian terjadi pemberontakan Komunis di Silungkang pada 1927, banyak tokoh-tokoh mereka ini ditangkap dan dibuang ke Digul.

Pada saat yang sama, kemudian masuk paham Muhammadiyah. Ajaran ini segera merebak dan diterima dengan luas. Cuma bedanya, kalau di Jawa organisasi ini antipolitik, Muhammadiyah di Sumatra Barat malah berpolitik. Dan, di sinilah Bukittinggi kemudian mulai menunjukkan perannya.

Apa peran yang telah dimainkan di Bukittinggi?
Jadi pada 1930, diadakanlah Muktamar Muhammadiyah di Bukittinggi. Ini merupakan Muktamar Muhammadiyah terbesar yang pernah dilakukan semenjak organisasi ini berdiri. Ribuan orang hadir. Ini karena memang Muhammadiyah sangat cepat berkembang di Sumatra Barat.

Oh ya, kalau begitu, apa yang menyebabkan Muhammadiyah cepat berkembang di Sumatra Barat?
Itu karena orang Minangkabau sudah lama berdebat soal pembaruan agama. Sejak 1900 mereka sudah berdebat soal ini. Akibatnya, ajaran Muhammadiyah mudah benar masuk ke dalam benang orang Minangkabu. Nah, dalam mukatamar itu dibuat keputusan Muhammadiyah bukan organisasi politik. Dan, ini bertentangan dengan organisasi Muhammadiyah di Sumatra Barat yang berpolitik. Adanya putusan, orang-orang Muhammadiyah yang berpolitik menyatakan ke luar dari organisasi ini.

Mereka yang keluar itu mendirikan Perhimpunan Muslimin Indonesia (Permi) dengan ideologi Islam dan kebangsaan. Permi menjalankan kebijakan nonkooperasi dengan Belanda dengan tujuan Indonesia merdeka dan mulia. Nah, Permi ini menguasai perpolitikan di Sumatra Barat, Tapanuli Selatan, dan Aceh Selatan. Mereka ‘berteman baik’ dengan Partindo. Maka sejak itulah, yakni pada 1930, Bukittinggi menjadi pusat pergerakan politik. Pada periode itulah novel-novel yang bersifat politik terbit. Ini, misalnya, novel Meraih Sukma dan Tamar Jaya.

Di sini kemudian lahir, misalnya, Rasuna Said, Mukhtar Lutfi, dan Rasmilah Ismail. Permi juga mendirikan sekolah-sekolah. Tapi pada 1933, tokoh-tokoh Permi, seperti Muchtar Lutfi, Iljas Jakub, dan Djalaludin Thaib dibuang ke Digul, Papua. Gafar Ismail sedikit beruntung tidak dibuang ke Digul, tapi dibuang di Jawa.

Situasi perjuangan di Bukittinggi terus meluas hingga tiba zaman Jepang. Saat itu, Indonesia dibagi dalam tiga komando. Sumatra dan Tanah Semenanjung (Malaysia) berada dalam satu komando, di samping dua lainnya, yakni komando Jawa dan Indonesia bagian timur. Nah, yang dijadikan pusat komando di Sumatra dan Tanah Semenanjung itu adalah Bukittinggi. Letak Bukittinggi dipilih kan lebih strategis. Beda dengan Padang yang gampang diserbu dari arah laut. Apalagi, letaknya di tengah Pulau Sumatra. Peninggalan Jepang masih tersisa dengan adanya gua pertahanan (gua Jepang).

Bagaimana peran Bukittinggi pada zaman revolusi kemerdekaan?
Pada waktu awal revolusi, ibu kota Sumatra memang masih di Padang. Tapi ketika diserbu, ibu kotanya pindah ke Bukittinggi yang saat itu statusnya hanyalah sebagai residen. Pada 1948 atau Agresi Belanda I, dalam satu kunjungannya Kota Prapat sebagai pusat Provinsi Sumatra, Bung Hatta memutuskan memindahkan pusat provinsi ke Bukittinggi. Keputusan ini dilakukan setelah melihat Medan dikuasai Belanda. Jadi, praktis semenjak 1948 itu Bukittinggi menjadi ibu kota Sumatra.

Maka, di Bukittinggi saat itu berkumpul semua pejabat Pemerintah Provinsi Sumatra (kelak kemudian Sumatra dibagi menjadi tiga provinsi). Maka, sejak itulah (Agresi Belanda I) Bukittinggi menjadi salah satu pusat pemerintahan. Apalagi, Bung Hatta tinggal juga di situ. Beliau tinggal di sebuah rumah besar selama beberapa bulan (rumah itu kini dikenal sebagai Istana Bung Hatta).

Memang sejak Perjanjian Renvile, Bung Hatta sudah melihat bahwa sewaktu-waktu posisi Indonesia yang saat itu berpusat di Yogyakarta akan repot bila diserang Belanda. Oleh karena itu, Bung Hatta tinggal beberapa waktu di Bukittinggi untuk mempersiapkan Bukittinggi menjadi ibu kota negara bila Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda. Jadi, persiapan kota ini menjadi ibu kota negara sudah dilakukan sejak awal 1948. Perkembangan politik nasional memang bergerak sangat cepat dan dinamis. Maka, Bung Hatta melakukan antispasi bila muncul situasi terburuk.

Bung Hatta mempersiapkan Bukittinggi sebagai ibu kota negara RI berlangsung hingga menjelang Agresi Belanda II. Jadi, waktu itu Bung Hatta bolak-balik Yogyakarta-Bukittinggi. Nah, pada saat akhir menjelang Agresi Belanda II, menteri Sjafruddin Prawiranegara datang. Karena situasi Yogyakarta genting, Bung Hatta dipanggil pulang ke Yogyakarta. Maka, tinggal lah Sjafruddin sendirian di Bukittinggi.

Tak lama setelah Bung Hatta sampai di Jogja, kota itu pun diserang Belanda (Agresi Belanda II dimulai 19 Desember 1948). Dan pada hari yang sama dengan penyerbuan di Yogyakarta, Bukittinggi juga diserbu Belanda. Rupanya, Belanda tahu bahwa kota ini akan dijadikan ibu kota negara bila situasi memburuk.

Akibat penyerbuan itu, para pejabat negara seperti Sjafrudin mengungsi ke pedalaman Sumatra Barat, yakni sekitar wilayah Halaban. Nah, karena Bukittinggi sudah diserbu, Sjafruddin pada dua hari kemudian, 21 Desember 1949, mengumumkan berdirinya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pengumunan ini sangat penting karena Yogyakarta sudah jatuh ke tangan Belanda dan pejabat penting, seperti Presiden Sukarno dan Wakil Presiden ditangkap.

Pada saat itu, Panglima Angkatan Perang Belanda Jenderal Spoor sudah mengatakan Republik sudah tidak ada. Tapi, tiba-tiba muncul pernyataan dari orang-orang yang datang untuk mengungsi dari Bukittinggi ke Halaban, yang mengumumkan bahwa Republik Indonesia masih ada. Jadi, ketika Yogyakarta sudah diduduki, PDRI langsung berdiri. Jadi, begitu Yogyakarta jatuh, Bukittinggi tampil. Dan, antisipasi ini sudah dipersiapkan cukup lama oleh Bung Hatta.

Mengapa sejarah Bukittinggi sebagai ibu kota negara sepertinya hilang dari ingatan bangsa Indonesia?
Saya kira itu tidak hilang, tapi dilupakan saja. Dalam hal ini saya sering mengkritik. Pertama kali kritikan saya ini dikatakan di luar negeri dan dimuat sebuah majalah berbahasa Inggris di sana. Saat itu saya katakan: Demokrasi Terpimpin ala Sukarno itu dan Orde Baru ala Soeharto itu adalah cerminan dari sebuah negara yang serakah (greedy state). Jadi, negara yang tidak puas hanya sekadar melakukan penguasaan secara ekonomi dan politik, tapi juga ingin melakukan penguasaan ingatan kolektif atas sebuah kesadaran. Untuk itulah, demokrasi terpimpin melakukan indoktrinasi Manipol Usdek.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Pak Harto beberapa tahun kemudian setelah dia berkuasa. Indoktrinasi ala Orde Baru ini dilakukan dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Jadi, di dua pemerintahan itu dengan mengatasnamakan negara, maka merekalah yang menentukan mana yang harus diingat dan mana yang harus kita lupakan. Ini, misalnya, rakyat hanya diminta mengingat peristiwa 11 Maret dan 1 Maret, yakni ketika Pak Harto dilantik jadi presiden dan serangan umum ke Yogyakarta. Sedangkan, peristiwa pembunuhan di sekitar tahun 1965 dilupakan.

Nah, untuk PDRI baru diperingati pada akhir 1990-an. Bahkan, pada buku sejarah resmi peristiwa PDRI hanya ditulis dalam dua kalimat. Ini karena bagian sejarah itu dikuasai oleh Nugroho Notosusanto, kepala sejarah TNI.

Jadi, hilangnya ingatan atau dilupakan sejarah Bukittinggi dan PDRI ini dari sikap negara yang serakah. Memang tidak menghilangkan sejarah, tapi melupakannya dari ingatan publik. Biasanya sikap mengingat kembali apa yang telah dilakukan setelah terjadinya pergantian kekuasaan. Jadi, jangan sekali-kali melupakan sejarah, apalagi sampai menghilangkannya! (Republika Online).

Ada yg bisa kami bantu ?...